Penyair, Pengelola Program Bentara Budaya di Bali, Mahasiswa Magister Tata Kelola Seni Institut Seni Indonesia Bali (ISI BALI). Juara Utama Lomba Penulisan Kritik Seni ISBI Bandung (2020), Emerging Writers UWRF 2021. Antologi Puisi Tunggal: Doa Ikan Kecil (2019), Gadis Minimarket dan Berita Hari Ini (2021).
Film Autobiografi: Jejak Kekerasan dan Tubuh yang Ditundukkan
Selasa, 20 Mei 2025 19:38 WIB
Autobiography bukan sekadar cerita tentang dua sosok. Ia adalah cermin retak yang diarahkan pada kita semua.
Tak banyak film Indonesia yang berani menyorot wajah kekuasaan secara terbuka—apalagi dalam bentuk yang senyap namun menggetarkan. Autobiography, debut panjang Makbul Mubarak, menjadi salah satu di antara yang sedikit itu. Film ini tidak sekadar memotret sejarah, tetapi menguliti luka yang belum benar-benar sembuh—luka yang hidup dalam tubuh Rakib, dalam sunyi rumah Purna, dan dalam ingatan kolektif yang tak pernah selesai diredam.
Kisahnya sederhana, Rakib, pemuda yang bekerja sebagai penjaga rumah, hidup sendiri dalam bangunan megah milik Purnawinata, pensiunan jenderal yang kembali ke kampung untuk mencalonkan diri sebagai bupati. Dalam rutinitas yang serba kaku dan diam, relasi mereka merefleksikan bukan sekadar hubungan majikan dan pelayan, melainkan sebentuk representasi laten dari rezim dan warga negara yang ditundukkan.
Namun Autobiography bukan sekadar cerita tentang dua sosok. Ia adalah cermin retak yang diarahkan pada kita semua—sebuah autobiografi simbolik bangsa yang dihantui kekerasan. Kekerasan yang tidak selalu hadir lewat darah atau letusan senjata, melainkan lewat tatapan yang mengunci, seragam yang diwariskan, dan kata-kata tenang yang membekukan ruang.
Film ini mengajukan tafsir kekerasan dalam lapis-lapis yang sunyi. Bukan kekerasan fisik yang kasat mata, melainkan kekerasan simbolik dan struktural yang meresap perlahan melalui relasi sosial. Dalam salah satu adegan awal, Rakib menyuguhkan kopi kepada Purna. “Siapa bilang saya mau minum kopi?” jawab sang jenderal.
Di mata penonton awam, itu mungkin sekadar teguran. Namun dalam lapisan yang lebih dalam, itulah cara kekuasaan bekerja. Kalimat itu bukan tentang kopi, melainkan tentang siapa yang boleh menentukan kehendak dan siapa yang tak punya ruang untuk membaca situasi. Dalam logika militeristik, tidak ada ruang untuk tebak-menebak—yang ada hanya perintah, dan kepatuhan.
Dalam sistem seperti itu, tubuh manusia tak lagi menjadi milik sendiri. Ia adalah medium untuk menunjukkan tunduk atau menolak. Ketika Purna memakaikan seragam tentara lamanya kepada Rakib, kita melihat bukan sekadar pakaian, tetapi pewarisan simbol kekuasaan. Seragam itu menyimpan bahasa diam dari dominasi yang dibentuk bukan oleh prestasi, melainkan oleh trauma kolektif yang diwariskan.
Yang mengerikan, seragam itu mengubah cara orang lain memandang Rakib. Ia seketika dihormati, bahkan dijadikan figur yang tiba-tiba dipuja, meski tak mengatakan apa pun. Kekuasaan ternyata bisa melekat pada kain, bukan pada gagasan. Dan masyarakat, entah sadar atau tidak, telah memberi tempat bagi simbol-simbol semacam itu untuk menata ketakutan mereka.
Tubuh dalam Bayang Kekuasaan
Kekerasan paling sunyi dalam film ini mungkin hadir saat Purna memandikan Rakib. Adegan itu nyaris tanpa dialog, namun menelanjangi banyak hal. Di balik kelembutan semu—air yang dituang perlahan, tangan yang mengusap kepala—terselip dominasi. Rakib tidak sedang dimandikan oleh seorang ayah, melainkan oleh sejarah yang hendak menetapkan siapa dirinya.
Tubuhnya, ruang paling personal, diintervensi secara simbolik. Ia kehilangan otonomi bahkan atas batas tubuhnya sendiri. Dalam situasi semacam ini, kekerasan tak lagi tentang luka yang membekas di kulit, tetapi tentang pendangkalan eksistensi. Seakan-akan, apa pun yang melekat pada Rakib bukan lagi miliknya, tetapi hak penguasa yang menganggap dirinya sebagai pemilik mutlak segalanya.
Makbul Mubarak seakan ingin bertanya kepada kita semua: sampai sejauh mana kekuasaan boleh masuk ke tubuh seseorang? Sampai ke kulit? Sampai ke pikiran? Atau justru sampai ke jiwa, yang perlahan kehilangan daya untuk merdeka?
Mitos Kekuasaan dan Jejak yang Tak Lekang
Semua ini tentu tak lahir dari ruang hampa. Dalam tafsir semiotika, kekuasaan semacam ini telah menjadi mitos—dalam pengertian Barthes—sebagai makna yang dinaturalisasi, yakni makna yang diterima begitu saja sebagai sesuatu yang wajar, meski sesungguhnya dibentuk secara historis. Kekuasaan tak lagi dilihat sebagai struktur yang bisa ditinjau ulang, tapi sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya begitu.
Mitos itulah yang membuat Rakib diam, bahkan ketika ketakutannya nyaris pecah. Mitos pula yang membuat Purna tak pernah merasa bersalah, bahkan setelah kekerasan terjadi di hadapannya. Seperti yang kita warisi dari narasi Orde Baru, mitos kekuasaan tak hanya mengancam lewat represi, tetapi juga melalui kemampuannya menanamkan rasa bersalah pada mereka yang takut.
Kekerasan simbolik semacam ini nyaris tak kasat mata. Ia tak menyakiti secara fisik, tapi melumpuhkan perlahan. Di sinilah kekuatan film Autobiography—ia tak menggurui, tapi menggoda kita untuk masuk ke ruang perenungan yang lebih dalam.
Film sebagai Memori Kolektif dan Ingatan Perlawanan
Yang menarik dari Autobiography adalah cara ia membungkus kemarahan dalam ritme yang lambat. Film ini tidak berteriak, tetapi menyentuh lapisan terdalam. Dingin, diam, tapi meresap seperti kabut yang mengaburkan batas antara masa lalu dan sekarang. Dalam sunyinya, film ini mengajak kita menelusuri luka lama—bukan untuk mengungkit, melainkan untuk memahami akar dan jejaknya.
Autobiography tidak semata bercerita tentang sosok Purna, melainkan menyentuh lapisan yang lebih dalam: tentang bagaimana kekerasan diwariskan sebagai bagian dari memori kolektif bangsa. Dalam pertemuan antara sejarah, konteks sosial, dan warisan militeristik Orde Baru, mitos kekuasaan tumbuh dan menjadi ideologi yang diam-diam mengatur cara masyarakat melihat otoritas. Di sinilah pentingnya film ini: ia menghadirkan bahasa sinema yang berjarak dari narasi dominan, menjadi upaya tandingan terhadap representasi historis yang selama ini dikunci dalam satu suara, seperti halnya film Pengkhianatan G30S/PKI. Alih-alih memberi kesimpulan, Autobiography mengajak penonton membuka ruang tafsir baru terhadap jejak kekuasaan dalam sejarah dan kehidupan sehari-hari.
Autobiography tidak menawarkan jawaban. Tapi ia memberi cermin, bahwa luka bangsa ini tak selesai dengan reformasi, atau pemilu lima tahunan. Selama mitos kekuasaan terus diabadikan—dalam seragam, dalam rumah-rumah tua, dalam cara seseorang membasuh kepala orang lain—kita tetap hidup dalam bayangan Purna.
Dan selama tubuh-tubuh seperti Rakib terus kehilangan haknya bahkan untuk merasa takut, maka autobiografi kekerasan belum benar-benar usai. Ia masih ditulis—dalam senyap, dalam bayang, dan dalam ingatan yang belum selesai diurai.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Bali, Spies, dan Jebakan Romantisme
Selasa, 3 Juni 2025 06:47 WIB
Dari Aksi Kolektif ke Gerakan Sosial: Sebuah Gagasan Reflektif
Selasa, 20 Mei 2025 19:51 WIBArtikel Terpopuler